Selasa, 21 Desember 2010

PRIVATISASI

 Sebagaimana dimandatkan oleh konstitusi terutama pasal 33 UUD 1945, bumi , air dan kekayaan yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan digunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Namun berbagai macam perundangan justru melegalkan keterlibatan pihak swasta dalam penguasaan dan distribusi kebutuhan dasar rakyat tersebut.
Berbagai perundangan yang muncul seperti Undang-Undang sumber daya air, Undang-Undang Penanaman Modal dan Undang-Undang Ketenagalistrikan, UU Migas, UU Perkebunan, UU HAKI, menjadi ancaman bagi keberlangsungan hidup rakyat, karena barang publik yang seharusnya menjadi hak setiap warga negara dikomodifikasi untuk tujuan pencarian keuntungan sebesar-besarnya.
Kondisi tersebut didukung penuh oleh Lembaga Keuangan Internasional  dengan keterlibatan Asian Development Bank lewat kucuran utangnya. Lebih dari empat  dasawarsa Asian Develepment Bank (ADB) Bersama-sama dengan Bank Dunia menjadi pengerak privatsiasi barang dan layanan publik khususnya air dan listrik. ADB terlibat dalam praktek privatisasi air di Indonesia, India, Pakistan, Korea Selatan, Nepal dan Srilanka. ADB Juga mendanai privatisasi listrik dalam proyeknya di Filipina, Bangladesh, Pakistan, Thailand, Indonesia, India dan banyak tempat lainnya.

Privatisasi layanan publik tersebut juga telah menggiring peningkatan biaya yang ditanggung oleh rakyat secara berkelanjutan dan eskalatif. Selain itu menyebabkan berkurangnya akses air dan listrik  bagi rakyat miskin, monopoli sumber daya alam oleh perusahaan-perusahaan swasta, penggusuran rakyat serta kerusakan lingkungan.
ADB berpendapat bahwa, "pertumbuhan ekonomi merupakan kekuatan penggerak untuk mengurangi kemiskinan di kawasan Asia, strategi baru mununtut lompatan besar dalam mendanai sektor swasta. Dukungan yang diperuntukkan bagi sektor swasta meningkat dari 12% pada tahun 2007 menjadi 50% pada tahun 2020".
Strategi 2020 ADB tersebut tidak lain adalah upaya untuk meningkatkan eskalasi privatisasi di tingkat Asia khususnya Indonesia. Oleh karena itu dalam rangka hari aksi se-Asia menentang privatisasi layanan publik dan sumberdaya alam, kami bersama dengan gerakan sosial di Asia menyerukan:
- Mengembalikan barang publik (common good) sebagai milik publik, sebagai kebutuhan dasar yang menopang pencapaian kehidupan yang sejahtera.
- Hentikan keterlibatan aktor non-negara dalam kepemilikan dan pelayanan kebutuhan hak dasar rakyat yang melahirkan privatisasi dan state corporatism.
-Medesak dihapuskannya utang dari ADB dan Bank Dunia yang telah mendorong privatisasi serta mengakibatkan kerusakan ekonomi, lingkungan sosial dan budaya, serta merestorasi atas kerusakan tersebut.

Privatisasi sendiri didefinisikan sebagai penyerahan kontrol efektif dari sebuah perseroan kepada manajer dan pemilik swasta dan biasanya terjadi apabila mayoritas saham perusahaan dialihkan kepemilikannya kepada swasta. Privatisasi mengandung makna sebagai berikut: (a) Perubahan peranan Pemerintah dari peran sebagai pemilik dan pelaksana menjadi regulator dan promotor dari kebijakan, serta penetapan sasaran baik nasional maupun sektoral; (b) Para manajer selanjutnya akan bertanggung jawab kepada pemilik baru. Diharapkan pemilik baru akan mengejar pencapaian sasaran perusahaan dalam kerangka regulasi perdagangan, persaingan, keselamatan kerja dan peraturan lainnya yang ditetapkan oleh pemerintah termasuk kewajiban pelayanan masyarakat; (c)Pemilihan metode dan waktu privatisasi yang terbaik bagi Badan Usaha dan negara mengacu kepada kondisi pasar dan kebijakan regulasi sektoral. 

Pengaturan mengenai privatisasi terdapat dalam Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 Tentang Badan Usaha Milik Negara (selanjutnya disebut dengan UU BUMN), dan peraturan lebih lanjutnya diatur dalam peraturan pemerintah. Namun, sebelum berlakunya UU BUMN, privatisasi telah dilakukan dikarenakan kondisi BUMN yang banyak merugi dan defisit APBN akibat dari krisis moneter. Menurut data kementerian BUMN Persero yang telah diprivatisasi dari tahun 1991 hingga 2005 diantaranya, yaitu : PT Telkom Tbk, PT Aneka Tambang Tbk, PT PGN Tbk, PT Bank Mandiri Tbk, PT BRI Tbk, PT Semen Gresik Tbk, PT Pelindo I, PT Pelindo III, PT Kimia Farma Tbk, PT Indofarma Tbk, dan PT Indocement TP Tbk. (www.bumn-ri.com). Belum adanya pengaturan yang khusus tentang tata cara privatisasi dalam kurun waktu 1991 hingga tahun 2003 tersebut menyebabkan pelaksanaan privatisasi tidak transparan, sehingga menimbulkan pro dan kontra di kalangan masyarakat. Mengingat bahwa pentingnya pengaturan lebih lanjut mengenai tata cara privatisasi, dan sebagai amanat Pasal 83 UU BUMN, maka pemerintah menetapkan Peraturan Pemerintah Nomor 33 Tahun 2005 Tentang Tata Cara Privatisasi Perusahaan Perseroan (Persero).

Dengan ditetapkannya PP No. 33 Tahun 2005, bukan berarti Persero yang sudah diprivatisasi sebelum peraturan pemerintah ini menjadi batal karena pada dasarnya peraturan pemerintah ini berfungsi sebagai penegas peraturan pemerintah sebelumnya yang mengatur mengenai privatisasi. Oleh sebab itu diperlukan suatu kajian mengenai perbandingan bagaimana tata cara privatisasi sebelum PP No. 33 Tahun 2005 dengan tata cara privatisasi berdasarkan PP No. 33 Tahun 2005. Hal ini perlu dilakukan untuk mengetahui apakah dengan berlakunya PP No. 33 Tahun 2005 pelaksanaan privatisasi akan lebih baik dibandingkan dengan pelaksanaan privatisasi sebelum adanya PP No. 33 Tahun 2005.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar